VIVAnews - Pemerintah berencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak pada
bulan Juni ini. Sebab harga minyak dunia terus merangkak naik.
Menyebabkan jumlah subsidi pemerintah terus melonjak. Mencekik APBN.
Sementara produk migas Indonesia sendiri terus turun. Jika tidak
melakukan sesuatu, maka ekonomi nasional secara keseluruhan bisa
terganggu.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, saat berkunjung ke redaksi TV One
beberapa waktu lalu, yang juga dihadiri wartawan VIVAnews.com,
menyampaikan bahwa produksi migas Indonesia kini nyaris berada di titik
nadir. Namun Guru Besar Teknik Perminyakan ITB ini meyakini produksi itu
akan naik dengan masifnya eksplorasi dan eksploitasi untuk menemukan
cadangan baru.
Indonesia saat ini memang telah berubah menjadi importir minyak bumi dan
bukanlah negara dengan kekayaan migas yang berlimpah. Cadangan minyak
Indonesia hanya 3,6 miliar barel, sungguh jauh bila dibandingkan dengan
Venezuela yang jumlah cadangannya mencapai 300 miliar barel. Jika temuan
baru tidak ada, "Kira-kira cadangan minyak kita habis 12 tahun lagi,"
kata Rudi Rubiandini.
Lahir di Tasikmalaya 9 Februari 1962, Rubiandini sudah lama bergelut
dengan semua urusan di dunia perminyakan. Setelah lulus dari Teknik
Perminyakan ITB tahun 1985, dia kuliah di Technische Universitaet
Clausthal Jerman. Lama berkarir di BPMIGAS mengantarkan Rubiandini ke
kursi Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Turun
dari kursi Wamen Januari 2013, dia kemudian diangkat Presiden menjadi
Kepala SKK Migas. Jabatan yang mengharuskannya menguasai secara rinci
setiap perkembangan dunia minyak Indonesia.
Bagaimana kondisi perminyakan kita, seberapa besar stok yang tersedia,
apakah ada temuan sumber minyak baru, dan bagaimana strategi SKK Migas
menggenjot produksi? Berikut petikan wawancara dengan Rudi Rubiandini.
Sebenarnya, berapa cadangan minyak Indonesia saat ini dan akan habis kapan?
Jadi begini. Indonesia memiliki 3,6 miliar barel minyak. Apabila kita
produksikan 800-900 ribu barel setiap hari, maka kira-kira cadangan
minyak kita habis 12 tahun lagi. Itu logis, kalkulatif, semua dapat
dihitung. Tetapi jangan lupa, cadangan minyak bisa bertambah, dengan
cara eksplorasi. Ketika eksplorasi menghasilkan jumlah minyak yang sama
untuk produksi maka level cadangan tidak pernah turun.
Pada tahun 1970 juga pernah dikatakan bahwa cadangan minyak kita akan
habis pada 10 tahun lagi. Sekarang sudah 2013. Dan sekarang saya bilang
bahwa 12 tahun lagi minyak kita akan habis, tapi nanti tahun 2100 akan
ada juga yang mengeluarkan statement yang sama. Mengapa bisa begitu?
Karena ada eksplorasi. Yang menyebabkan minyak kita akan habis atau
tidak, adalah eksplorasi. Minyak yang kita sedot hari ini adalah hasil
eksplorasi dari kakek dan orang tua kita 10-20 tahun lalu.
Minyak itu adalah sebuah benda yang keluar dari bawah, karena lebih
ringan dari air maka bisa otomatis naik, apalagi gas. Minyak akan naik
hingga berhenti di batuan cekungan ke atas. Untuk mencari minyak di
dalam tanah maka kita lakukan ultrasonik dan ledakkan dinamit untuk
mendapatkan seismik, bentuk batuan tanah. Ketika menemukan cekungan di
dalam tanah, ada dua kemungkinan, apakah berisi air asin atau minyak
bumi. Kalau dapatnya air, maka kita sebut dry hole.
Pertama kali orang menemukan minyak adalah di permukaan dan zaman dulu
minyak bumi digunakan sebagai obat. Ada koreng, dibalut dengan minyak
pasti sembuh. Kenapa? Karena minyak itu hidrokarbon, tidak ada oksigen.
Sedangkan koreng butuh oksigen untuk berkembang. Dengan kulit dilapisi
minyak, maka korengnya akan mati. Lalu berkembang menjadi obor saat
dilapisi dengan kain dan dibalut di atas kayu lalu menjadi bahan bakar.
Setelah minyak di permukaan habis maka lama-lama minyak semakin dalam.
Harus di bor menggunakan pipa. Paling dalam bisa hingga 15 ribu meter
dari permukaan tanah. Dan bukan hanya dibor secara vertikal, namun bisa
miring dan horizontal. Akibatnya, investasi eksplorasi menjadi mahal.
Ada sumur yang harganya bisa mencapai US$100 juta atau setara Rp1
triliun dan itu belum pasti dapat minyak.
Dan semua cost recovery diganti oleh negara?
Pemerintah tentu tidak mau menanggung eksplorasi migas yang membutuhkan
dana besar, maka dibuatlah kontrak eksplorasi. Silahkan ngebor
eksplorasi. Kalau tidak dapat, maka tidak diganti serupiah pun oleh
negara. Kalau dapat minyak, maka baru diganti oleh negara setelah
berproduksi. Dibayarnya bukan menggunakan uang, tetapi equivalent dengan
minyaknya, kita sebut sebagai kontrak bagi hasil.
Silahkan investasi, tidak berhasil maka tidak dibayar. Kalau berhasil,
seluruh produksinya dipotong dulu biaya eksplorasi, baru dibagi
hasilnya. Itu pun bukan 50:50, tetapi negara mendapatkan 85 persen,
kontraktor hanya 15 persen. Jadi betapa keberpihakan kepada negara cukup
tinggi. Perhitungannya, untuk kontraktor 15 persen, untuk cost recovery
atau pengembalian investasi itu 20-25 persen dan sekitar 60 persen
pasti untuk negara.
Bandingkan dengan industri pertambangan, yang keluar dari tanah paling
hanya 25 persen yang masuk ke dalam kas negara. Sisanya ke para
kontraktor, karena mereka menggunakan konsep kontrak karya. Bandingkan
pertambangan emas, tembaga, batu bara, dan 100 jenis pertambangan
dapatnya hanya Rp120 triliun ke kas negara, sedangkan industri migas
hanya satu komoditas dapatnya Rp360 triliun masuk ke kas negara.
Jadi untuk meningkatkan produksi migas membutuhkan eksplorasi besar-besaran?
Iya. Pertanyaannya kenapa banyak perusahan asing? Kita tanya balik ke
perusahaan Indonesia, siapa yang mempunyai uang puluhan hingga ratusan
triliunan secara tunai, bukan pinjam dari bank untuk eksplorasi? Dan
kalau tidak berhasil maka kontrak bisa diputus dan tidak menghasilkan
apa-apa. Tidak ada yang berani.
Kebetulan kita punya warisan blok migas dari Belanda dan itu semuanya
diberikan kepada Pertamina. Sedangkan perusahaan asing disuruh cari dari
tempat kosong, maka muncullah Chevron, Total, BP. Yang bekas Belanda,
dikuasai oleh Pertamina namun ternyata Pertamina tidak bisa mengelola
sendiri blok migas, maka minta pihak ketiga, munculah JOB, Joint
Opearation Body. Jadi ada, bagian Pertamina yang dikelola oleh
perusahaan asing.
Dari seluruh Indonesia, 50 persen lahan industri migas dikuasai oleh
Pertamina. Tapi produksi nasional, produksi migas asing lebih besar
daripada produksi Pertamina. Di media massa dibalik termnya, industri
migas dikuasai asing. Padahal, perusahaan asing justru telah membuat
produksi migas kita itu tinggi.
Apakah karena Pertamina minim eksplorasi?
Nah, kenapa Pertamina tidak begitu agresif? Ada masalah kecil ketika
Petronas belajar dari Pertamina, tetapi saat ini Petronas tumbuh pesat.
Petronas tidak memberi dividen kepada pemerintah sehingga dananya bisa
untuk eksplorasi dan mereka bisa mengembangkan bisnis migas. Sedangkan
Pertamina tidak, karena pertamina tunduk pada peraturan BUMN dan wajib
memberikan deviden. Seharusnya keuntungan Pertamina digunakan untuk
eksplorasi tetapi ini dikembalikan ke negara menjadi deviden. Jadi tidak
ada feedback, tidak ada return uang, dari pengelolaan minyak tadi
menjadi penemuan minyak baru.
Lahan pertamina memang bekas Belanda. Tapi ambilah contoh Cepu, yang
semula dibor dengan kedalaman 300-400 meter oleh Belanda. Di zaman Pak
Harto diberikan kepada Tommy melalui Humpuss. Tommy perlu uang dijual ke
Ampolex, lalu dijual lagi ke Exxon. Diperluas dan diperdalam oleh Exxon
dan dapatlah seperti sekarang, 165 ribu barel pada 2014 nanti.
Ada beberapa hal yang sebenarnya perlu kita dilakukan. Pertama, cobalah
sumur Pertamina yang dangkal-dangkal ini dibor lebih dalam. Memang belum
tentu dapat, tapi keberanian untuk mengebor lebih dalam ini terbatas.
Kedua, Pertamina kan dapatnya bekas Belanda, semua di darat. Belum
pernah Pertamina mencari sendiri di laut. Yang ada ambil alih punya BP
di Offshore North West Java dan utara Madura, West Madura Offshore.
Padahal masa depan migas Indonesia ada di laut, dan itu pun di laut
dalam, seperti Inpex di selat Timor, Donggi Senoro, ENI di lapangan
Jangkrik. Laut-laut dalam di Timur Indonesia terus eksplorasi.
Kenapa belum dilakukan?
Bagi pertamina, daripada uang kosong melompong karena tidak dapat,
mending akuisisi minyak yang sudah berproduksi. Tanah itu kosong
melompong, jadilah peta. Selama Pertamina tidak melakukan self
exsploration maka tidak pernah ada tambahan minyak.
Selama ini Pertamina sebagai BUMN, kalau dry hole, dianggap merugikan
negara. Kalau eksplorasi belum tentu dapat minyak. Rasio sukses
eksplorasi itu 30-40 persen, paling tinggi 50 persen. Jadi artinya
ngebor 10, yang berhasil 3-4 sumur. Maka yang gagal itu kan duit hilang.
Jumlahnya miliaran, triliunan. Pemerintah membatasi Pertamina untuk
masuk dalam bisnis yang beresiko tinggi.
Pertamina saat ini saya dorong untuk eksploitasi lapangan yang masih
tidak diapa-apakan, Enhanced Oil Recovery (EOR) sedang digalakkan.
Kenapa? lapangan asing tadi sudah disedot 40-50 persen. Lapangan
Pertamina ini baru 10-15 persen. Ini lapangan kalau diurus secara benar
pun hasilnya akan naik. Pertamina bisa kok.
Tetapi kan Pertamina mengelola sumur tua?
Sebetulnya sumur tua bukan berarti minyaknya akan habis. Justru sumur
itu telah terbukti ada minyak. Kalau masuk ke lapangan baru kan belum
tentu ada hasilnya.
Masalah ini terjadi karena political will atau internal Pertamina?
Kalau dalam hal Pertamina, ini intern Pertamina. Pertamina sudah
mendapatkan privilege dari negara. Perusahaan asing itu mendapatkan
bagian 15 persen dari minyak, 30 persen dari gas. Sedangkan Pertamina
mendapatkan bagian 40 persen. Ditambah kewajiban Domestic Market
Obligation. Perusahaan asing dibayar 25 persen dari harga dunia,
Pertamina itu full price. Jadi, pantaslah pendapatan negara mengecil,
pendapatan Pertamina membesar. Sebenarnya keberpihakan kepada Pertamina
itu sudah terlihat, tetapi mengaku sebagai anak tiri padahal sudah
dianak emaskan.
Kenapa saat ini industri hulu migas Indonesia seperti tertinggal dari negara lain?
Kalo masalah industri migas kenapa tertinggal dibanding negara lain, itu
political will. Seperti dana eksplorasi, pemerintah bisa sisihkan lima
persen dari pendapatan migas untuk eksplorasi.
Masalahnya, saat ini kalau ada perusahaan asing masuk ke Indonesia,
mereka hanya dikasih lembar kosong tanpa peta, perusahaan asing di
Indonesia harus melakukan seismik sendiri. Padahal di Malaysia, itu
investor diberikan CD isi peta dan hasil seismik tiga dimensi. Dana yang
disebut petroleoum fund ini sangat dibutuhkan di Indonesia, jumlahnya
tidak besar. Cukup sekitar lima persen dari hasil migas dikembalikan
untuk eksplorasi.
Apakah masalah petroleoum fund sudah diusulkan kepada pemerintah?
Jadi masalah petroleoum fund, kami sudah siapkan beberapa poin di revisi
Undang-undang migas yang baru. Salah satunya, kita coba adakan lima
persen dari hasil migas untuk eksplorasi, sedangkan 95 persen sisanya
masuk ke kas negara. Sehingga, petroleoum fund ini tidak meminta dari
pajak atau manapun.
Siapa yang berhak mengelola dana ini, sebab jumlahnya tidak kecil. Bisa mencapai Rp15 triliun?
Petroleoum fund ini akan masuk ke dalam Badan Geologi, sebuah badan
milik negara yang bertugas untuk eksplorasi pertambangan dan migas.
Kalau tidak ada uangnya, maka Badan Geologi ini hanya sebagai pengumpul
data hasil eksplorasi yang dikerjakan orang lain. Kuncinya adalah duit.
Ketika duitnya ada maka Badan Geologi jalan, data jadi ada, maka
cadangan meningkat.
Saat ini ada badan pengambil data, semi swasta. Namanya Patra Nusa Data.
Itu semi pemerintah yang tugasnya mengumpulkan data namun berada di
bawah Kementerian ESDM. Ini kan salah? Seharusnya dikembalikan ke Badan
Geologi namun karena Undang-undangnya belum ada sehingga tidak jalan.
Kenapa bukan SKK Migas?
SKK Migas lebih bertugas untuk mengamankan kontrak yang telah
ditandatangani oleh pemerintah dengan kontraktor. Watchdognya ini SKK
Migas. By the law, Badan Geologi inilah yang berhak memegang petroleoum
fund.
Soal cadangan migas Indonesia sebesar 3,6 miliar barel tadi. Apakah itu
ukurannya sangat besar untuk sebuah negara? Artinya, apakah Indonesia
negara kaya minyak?
Indonesia mempunyai cadangan minyak 3,6 miliar barel sedangkan Venezuela
itu 300 miliar barel. Kalau Indonesia mempunyai cadangan minyak 300
miliar maka saya berani seperti Hugo Chavez dengan menasionalisasikan
perusahaan minyak asing. Sekarang ini, investor mau datang ke Indonesia
saja saya bersyukur. Orang kaya sombong seperti Venezuela itu biasa,
orang miskin sombong itu luar biasa. Kita harus sedikit terbuka dengan
investor asing.
Norwegia saat ini booming dengan cadangan migas yang mencapai 10 miliar
barel dengan penduduk 8 juta. Sedangkan kita, cadangan lebih sedikit
dari Norwegia namun penduduknya 240 juta. Beda sekali konteksnya dalam
membuat aturan. Di negeri yang kaya minyak, mereka menggunakan services
contract. Kontraktor asing diundang dibayar dengan barang dan tenaga
kerja mereka, sedangkan seluruh minyak untuk negara. Sedangkan di
Indonesia tidak, yang bayar kontraktor.
Ingat, nasionalisasi di Venezuela itu bukan berarti perusahaan diusir
tetapi mereka beli dari kontraktor-kontraktor asing lalu perusahaan
tersebut menjadi perusahaan nasional karena cadangan minyak mereka
melimpah. Masalahnya Indonesia, uangnya dari mana?
Anda sudah petakan kendala di industri migas. Kira-kira bagaimana produksi migas Indonesia ke depan?
Beberapa waktu lalu saya bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
selama dua jam. Karena selembar demi selembar paparan saya dia kupas dan
beberapa masukan dari saya diterima dan keluar sebagai keputusan. Ada
hal yang minimal harus dilakukan. Pertama, pemangkasan birokrasi. Kedua,
insentif fiskal eksplorasi.
Saya juga ceritakan kepada Pak Presiden bahwa untuk kegiatan eksplorasi
ada 25 izin dan memproses izinnya butuh 2-3 tahun. Pak Presiden bilang
kapan mulai kerjanya? Lalu Presiden memerintahkan Pak Sudi Silalahi
(Mensesneg) untuk menyederhanakan perizinan menjadi tujuh. Seluruh
menteri bergerak untuk merevolusi perizinan.
Saya ingin menyampaikan bahwa visi SKK Migas jangka panjang adalah
meningkatkan penemuan cadangan migas dengan eksplorasi. Kenapa? Hari ini
kita nikmati minyak karena hasil eksplorasi 10-20 tahun lalu. Jangka
menengah, kegiatan lapangan-lapangan yang idle dengan sentuhan EOR, lalu
tingkatkan kapasitas nasional, hidupkan perbankan dan kontraktor
nasional.
Sedangkan jangka pendek, mengamankan lapangan yang akan onstream dalam
waktu dekat, seperti proyek Banyu Urip, Jangkrik, dan Donggi Senoro.
Lalu menurunkan decline rate jadi nol. Dari minus lima hingga sepuluh
menjadi nol. Ini bukan pekerjaan gampang, dari dulu sulit kok. Aslinya,
sebuah blok migas itu bisa turun 20-40 persen, namun karena ditekan
dengan menambah sumur maka menurun menjadi enam persen. Tahun ini saya
canangkan nol, bukan hanya nol namun malah naik.
Sekarang saya targetkan produksi minyak Indonesia 840-850 ribu barel.
Akhirnya kementerian keuangan menggunakan angka 840 ribu barel. Per hari
ini produksi 842 ribu barel. Jadi bukan hanya zero decline. Tetapi
sekarang memang titik nadir produksi migas indonesia, tapi nanti akan
naik. Saat ini produksi migas terbukti mulai rebound. Insya Allah.
Anda yakin produksi migas Indonesia akan naik?
Saya sampaikan kepada Pak Presiden, sampai 2019 minyak dari lapangan
Banyu Urip, Cepu sudah keluar semua. Gas dari Tangguh train tiga juga
sudah keluar. Pada 2019 nanti Indonesia sudah berubah dari minyak ke
gas. Jadi kalau kita tidak mulai bangun infrastruktur gas maka akan
susah. Saya berharap swasta cepat masuk, alokasi gas telah disediakan.
Yang Banyu Urip saya sudah cek. Beberapa waktu lalu sudah cek ke
lapangan dan sudah mulai bor dua rig. Rencana 42 sumur, 13 sumur
diantara untuk inject tingkatkan lifting. Saat ini produksi Blok Cepu
baru 53 persen. Insya Allah 2014 akhir sudah produksi penuh. Lalu proyek
deep water seperti Bangka, Gendalo dan Gihem akan selesai 2015-2017
dengan jumlah gas 114.742 juta kaki kubik. Ini jumlah yang besar.
Kemudian Blok Muara Bakau, Jangkrik yang dikelola ENI dari Italia akan
hasilkan 450 juta kaki kubik pada 2016.
Lalu ada blok Masela di selat Timor, ini selesai 2018 dengan produksi
421 juta kaki kubik. Tangguh train 3 produksi 500 juta kaki kubik
selesai 2019.
Ketika saya dipanggil, Presiden sempat bertanya, adakah yang selesai
sebelum Agustus 2014? Saya katakan Bapak tidak perlu khawatir. Bapaklah
yang sudah membuat ini terjadi dan biarlah Presiden selanjutnya yang
menikmati. Bapak Presiden tinggal bilang ke presiden selanjutnya, kami
persembahkan proyek-proyek migas yang tinggal dinikmati. Ini tabungan
bangsa indonesia, anak cucu kita. Totalnya tidak kurang dari US$30
miliar investasi dan tidak menggunakan uang negara.
Ada cerita di sektor migas bahwa Indonesia berhasil produksi 1,6 juta
barel pada tahun 1977. Negara Indonesia beruntung karena menemukan
lapangan besar. Setelah itu turun. Titik puncak kedua muncul lagi pada
1995, produksi minyak bisa 1,6 jt barel. Kenapa? Karena disentuh EOR di
lapangan Duri, caranya injeksi uap. Lalu kemudian turun terus.
Lalu kapan ada puncak ketiga? Jawabannya ada pada dua komponen yakni
eksplorasi dan EOR. Jika dilakukan bersamaan maka akan membuat puncak
produksi yang ketiga. Tetapi kalau dikatakan turun tidak, saat ini
produksi Migas Indoenesia mencapai 2,1 juta ekuivalen setara minyak.
Lebih tinggi dari produksi Migas pada 1976.
Untuk program BBM menjadi BBG sendiri, sejauh mana komitmen SKK Migas dalam hal ini?
Kami ditantang untuk mengkonversi BBM menjadi BBG. SKK Migas telah
siapkan 32 juta kaki kubik untuk proyek ini dari tahun lalu. Tetapi
tidak terjadi. Masalahnya bukan di suplai gas tapi converter kit serta
SPBG mother daughter tidak jadi-jadi. Kenapa? Karena dibangun
menggunakan uang APBN. Saya ingat, karena waktu itu masih menjadi Wakil
Menteri ESDM, Dirjen Migas waktu itu, Ibu Evita menyatakan tender SPBG
baru selesai November dan baru dibangun Maret. Pak Menkeu tidak mau
kalau multiyear karena sudah ada pengalaman pahit di Hambalang. Saya
bilang, ini kan multiyear tapi single budget, tapi tetap tidak mau.
Jadi sebenarnya proses berjalan. Kesiapan hulu ada tetapi masalahnya di
infrastruktur gas belum siap karena menunggu dana dari APBN. Saya lebih
suka agar swasta masuk. Swasta lebih cepat jadi asal diberikan margin
cukup.
Bagaimana dengan renegosiasi harga gas Tangguh?
Sebenarnya ekspor gas Tangguh ke Fujian itu kecil, hanya 11 persen.
Tetapi magnitude politiknya besar. Padahal efek rupiah kecil, hanya Rp40
triliun tambahannya. Tetapi seolah-olah kita jual barang murah ke luar
negeri, padahal tidak. Banyak juga gas yang kita jual mahal hingga 17
dolar per MMBTU, tetapi karena Fujian dijual US$3,35 per MMBTU
kelihatannya kecil. Waktu itu kita jual gas ketika pasokan gas di dunia
sedang besar. Bisa kejual juga bersyukur waktu itu.
Proses renegosiasi Tangguh telah dimulai, untuk harganya belum tahu.
Yang jelas, CNOOC telah berkomitmen untuk mengubah harganya. Kami
bercita-cita dalam dua bulan selesai, tetapi negosiasi membutuhkan
proses yang tidak mudah.
Kami pernah dihujat karena mengekspor gas lebih banyak daripada untuk
kebutuhan dalam negeri. Tapi pada tahun 2012, hampir seimbang karena ada
kontrak gas yang sudah habis, dan kami langsung mengalihkannya untuk
kebutuhan dalam negeri. Lalu ada usul, kenapa tidak seluruh gas itu
digunakan untuk kebutuhan dalam negeri? Jawabannya sederhana. Ini
infrastrukturnya tidak ada,
apa gasnya ditenteng dalam plastik?
http://www.kaskus.co.id/thread/51bdb0171b76088d4000000b